Muara Enim, Sumatera Selatan, Viapost.id || Ribuan petani di kawasan Tanjung Enim dan Semende menyuarakan penolakan atas klaim kawasan hutan produksi yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Pasalnya, area yang diklaim sebagai hutan tersebut telah lama menjadi lahan perkebunan rakyat secara turun-temurun sejak tahun 1938, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Mengacu pada peta identifikasi enclave Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, yang dikeluarkan Dinas Kehutanan pada 2016, wilayah tersebut disebut masuk dalam kawasan hutan produksi. Namun, masyarakat menduga kuat ada rekayasa dalam penetapan itu, karena area yang dimaksud diketahui memiliki kandungan batu bara.
Menurut sejumlah tokoh masyarakat, penetapan tersebut membuka jalan bagi pengambilalihan lahan rakyat untuk dijadikan wilayah konsesi tambang batu bara milik PT Bukit Asam (PTBA). “PTBA belum ada, kami sudah berkebun di sini. Tanaman durian, karet, dan sawit sudah puluhan tahun kami rawat,” ujar salah satu tokoh masyarakat Desa Darmo.
Warga mengaku khawatir, pengakuan sepihak atas lahan sebagai kawasan hutan produksi dapat memaksa mereka meninggalkan lahan yang telah menjadi sumber penghidupan utama. Ironisnya, pihak perusahaan disebut hanya menawarkan dana santunan, bukan ganti untung yang layak. Hal ini dinilai sangat merugikan dan berpotensi memicu gelombang kemiskinan baru di kawasan tersebut.
“Kalau hanya diberi santunan, sekitar 90% warga akan kehilangan mata pencarian. Kami tidak butuh belas kasihan, kami butuh keadilan,” kata warga lainnya.
Masyarakat kini memilih menempuh jalur hukum dan telah mengadukan persoalan ini hingga ke Istana Negara. Mereka mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang sejak kapan Hak Guna Usaha (HGU) PTBA diterbitkan di lokasi perkebunan rakyat tersebut.
Dalam kondisi ini, masyarakat merasa pemerintah belum benar-benar berpihak kepada rakyat. “Kalau pemerintah katanya pro rakyat, jangan jadikan rakyat sebagai korban dari ambisi ekonomi,” tutup salah satu tokoh adat Semende.